UU Cipta Kerja dipandang berefek negatif pada bagian kelautan. Menurut Konsolidasi Warga Sipil untuk Perikanan serta Kelautan Berkepanjangan (KORAL), UU itu tidak sesuai beberapa prinsip pembangunan ketentuan perundang-undangan yang bagus. Disamping itu, substansinya bisa memberikan ancaman keberlanjutan sumber daya kelautan.
"Pembangunan undang-undang ini dilaksanakan dengan cara terburu-buru dengan keterlibatan publik yang minimum, baik di step pengaturan atau bahasan. Walau sebenarnya, undang-undang ini mengendalikan banyak faktor yang akan memengaruhi kehidupan beberapa orang," papar perwakilan KORAL, Susan Herawati dalam info tercatat, Sabtu (10/10/2020).
Susan menerangkan sentralisasi wewenang ke pemerintah pusat bisa kurangi peranan kontrol pada tingkat pemanfaatan sumber daya kelautan serta perikanan. Disamping itu, lemahkan akar otonomi wilayah. Di bidang perikanan, misalnya, wewenang untuk memutuskan kekuatan perikanan yang awalnya ada pada menteri beralih ke pemerintah pusat yang diperintah oleh presiden.
"Walau sebenarnya, Kementerian Kelautan serta Perikanan adalah instansi tehnis yang oke serta berkuasa dalam soal pengendalian perikanan. UU Cipta Kerja jelas tidak memberi kejelasan siapa atau instansi apa (dalam ranah pemerintah pusat) yang akan menggenggam wewenang ini," tuturnya.
Disamping itu, perpindahan wewenang perizinan dapat kurangi peranan kontrol yang menahan berlangsungnya pemanfaatan berlebihan. Sentralisasi wewenang perizinan ke pemerintah pusat akan menyulitkan aksesibilitas aktor usaha di wilayah yang awalnya bisa mengatur perizinan di wilayah semasing.
"Bila tidak disokong dengan good governance, wewenang yang besar sekali di pemerintah pusat mempunyai potensi mengakibatkan penyimpangan kuasa," papar Susan.
Efek negatif yang lain, simplifikasi perizinan yang ditata oleh UU Cipta Kerja bisa menggerakkan ekspansi usaha besar di wilayah pesisir serta ruangan laut tiada menimbang daya junjung ekosistem. Sampai sekarang ini, pemerintah sudah memutuskan 15 Teritori Ekonomi Spesial (KEK) untuk memberikan dukungan investasi, apabila digabungkan dengan UU Cipta Kerja, kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun, serta terumbu karang) jadi intimidasi riil.
Dalam Permainan Betting Judi Bola Online "Perkembangan membuat perizinan berupaya cuman diharuskan untuk usaha spesifik, yaitu yang dipandang berefek tinggi. Walau sebenarnya, penetapan usaha apa yang dipandang berefek tinggi itu tersebut masih ditanyakan akurasinya," tuturnya.
Seterusnya, perkembangan yang tidak kalah bikin rugi ialah berpindahnya izin lingkungan jadi kesepakatan lingkungan yang mempunyai potensi kurangi akar pemantauan, pengaturan, serta penjagaan. Perkembangan yang lain ialah izin lingkungan yang dirubah jadi kesepakatan lingkungan. Hal tersebut akan kurangi akar pemantauan, pengaturan, serta penjagaan.
Selanjutnya, ada tanda-tanda jika operasi kapal asing untuk tangkap ikan di ZEE Indonesia akan dibuka pascapengesahan RUU Cipta Kerja. UU itu menjaga ketetapan tentang kapal asing yang ada di UU Perikanan, tapi menghapuskan keharusan pemakaian ABK Indonesia sekitar 70 % per kapal.
"Walau sebenarnya, sumber daya perikanan di Indonesia semestinya ditujukan untuk kesejahteraan warga Indonesia untuk mandat dari Klausal 33 (3) UUD 1945," tuturnya.
Susan menjelaskan perkembangan skema perizinan jadi risk-based approach (pendekatan berbasiskan efek) tidak disokong dengan penetapan kelembagaan serta metodologi yang pasti serta dapat dipercaya. Sekarang ini, di Indonesia belumlah ada instansi yang bisa dipandang siap serta eksper untuk lakukan penetapan efek dengan cara holistik. Ditambah lagi, database di Indonesia belum bisa memberikan dukungan efisiensi risk-based approach. Hingga, penetapan efek dicemaskan bisa berbentuk subjektif.
"Efeknya, pekerjaan usaha yang tidak dipandang beresiko tinggi tidak diharuskan untuk mempunyai izin. Bila penetapan efek tidak tepat, tentu saja bisa beresiko untuk keberlanjutan sumber daya kelautan serta perikanan di Indonesia," katanya.
Ke-5, Penghilangan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas KAJISKAN) yang mereduksi peranan sains dalam alasan perumusan kebijaksanaan. Komnas KAJISKAN adalah instansi berdiri sendiri yang berkuasa membahas kekuatan perikanan di Indonesia dengan cara ilmiah.
Tiada instansi itu, penetapan kekuatan bisa diintervensi oleh kebutuhan politik serta hasil analisis tidak dapat dipercaya. Mengakibatkan, pengendalian serta pemanfaatan perikanan berlebihan akan makin tidak teratasi.
"Walau sebenarnya sekarang ini pemerintah lewat Kepmen-KP 50/2017 mengatakan jika beberapa perikanan penting Indonesia sudah alami overfishing," tuturnya.
Selanjutnya, perkembangan pengertian nelayan kecil yang tidak batasi ukuran kapal bisa kurangi akar affirmative action pada nelayan kecil. Dengan pengertian yang tidak jelas, nelayan-nelayan yang saat ini tidak termasuk untuk nelayan kecil dapat mengambil keuntungan yang awalannya jadi hak nelayan kecil, seperti bantuan nelayan kecil, serta tempat tangkap dekat pantai.
"Selanjutnya penghilangan ukuran kapal untuk tanda pengertian nelayan kecil membuat kompetisi yang tidak adil," papar Susan.
Paling akhir, UU Cipta Kerja meminimalisasi keterlibatan warga dalam penetapan kebijaksanaan pendayagunaan pesisir. Penyertaan warga pada step pengaturan AMDAL dibatas, serta Komisi Penilai AMDAL yang berbentuk multistakeholder dihapus. Keterkaitannya, pendayagunaan daerah pesisir mempunyai potensi tidak pedulikan alasan nasib warga yang tergantung pada kelestarian ekosistem pesisir.
"Berfungsinya UU Cipta Kerja buka kesempatan pemanfaatan berlebihan sumber daya kelautan, yang pada akhirnya akan membuat nelayan kecil serta tradisionil tidak untung serta terpinggirkan dan percepat kerusakan ekosistem pesisir serta kekayaan laut," kata Susan.